Sebuah cerita pendek yang bisa dibilang bertema tentang kasih tak sampai. Terinspirasi dari sebuah buku sebenernya. Tau buku apa?:P Bagian bawah yang di quotes itu klimaks dari cerita ini. Kalo semisal males baca dari awal, baca klimaksnya itu aja. Hehehe yaudah, enjoy reading :)
HANYA SILUET PUNGGUNG
-Silvyaniza AB-
Nama perkumpulan itu Siluet. Sebuah perkumpulan kecil yang beranggotakan sepuluh manusia remaja. Mereka berkumpul setiap seminggu sekali, di gubuk kecil tepi pantai. Sistemnya selalu sama: Sembilan orang membentuk lingkaran dengan satu lainnya bercerita. Dalam satu pertemuan, mungkin tujuh orang menceritakan pengalamannya. Selebih sisanya, hanya mendengarkan atau menanggapi sedikit. Entah pengalaman memilukan, atau pengalaman paling berharga. Perkumpulan itu difasilitasi oleh seorang yang sama, yaitu Riko. Seorang pemuda yang seumuran dengan anggota kelompok lainnya, namun semuanya menaruh hormat kepadanya.
Malam ini, ada acara pertemuan. Aku ingin datang ke gubuk kecil itu dengan penuh semangat. Untuk bercerita atau sekedar mendengarkan cerita. Ibu yang sedang menyiapkan makan malam, melirikku. Ia sudah tau bahwa aku hendak menuju perkumpulan itu. Ibu tersenyum “hati hati di jalan.” komentarnya. Segera aku memegang tangan ibuku untuk bersalam, lalu keluar rumah dan menaiki motorku menuju gubuk di tepi pantai, tempat biasa kami berkumpul. Posisi rumahku memang tidak terlalu jauh dari pantai, jadi ibu mengizinkanku pergi.
Semuanya sudah berkumpul, hanya aku yang baru datang. Segera satu demi satu orang orang mulai bercerita tentang kisah uniknya. Kisah kehilangan teman, kisah putus cinta, kisah bencana alam, kisah kenangan indah, hingga kisah kasih di sekolah. Setelah semuanya ditanggapi, tiba giliran orang selanjutnya yang bercerita. Semua mata mengarah kepadaku, seolah memberikan sinyal bahwa aku adalah orang selanjutnya yang bercerita.
Aku mulai berkisah, tentang kawanku yang hidup sederhana di pesisir pantai. Setiap ibunya akan menghidangkan daging ayam sebagai lauk, ibunya pergi kepasar untuk membeli bagian punggungnya saja. Hanya itu yang bisa ibunya beli. Temanku pun beranjak besar tanpa mengetahui ayam mempunyai bagian tubuh lain selain punggung. Ia tidak tahu bahwa ada sayap, paha, ataupun dada. Punggung merupakan satu satunya definisi yang ia tahu mengenai ayam. “Yaa, ayam berpunggung tanpa kaki tangan dan kepala.” ujarku melengkapi.
Semua menatapku. Keheningan terasa sejenak. Sampai ada salah satu dari kami yang mengucapkan “Ayam hanya memiliki punggung saja. Hahaha.” Sambil tertawa terbahak bahak.
Kami tidak tahu di bagian mana lucunya dari kalimat tersebut. Namun seolah kami terbawa alunan tawanya, sehingga ikut tertawa. Suasana hening berubah menjadi keceriaan dan kehangatan. Kata “Punggung ayam” menjadi gurauan baru klub kami. Aku merasa jahat kepada kawanku. Tapi sekedar untuk hiburan, ya aku ikut tertawa. Pada akhirnya pertemuan kami diakhiri dengan raut wajah gembira para pesertanya. Semua lega, dan mulai menanti pertemuan selanjutnya di minggu depan.
Hari-hariku berjalan seperti biasa tanpa ada apapun yang spesial. Namun, tepat pada hari itu. Hari dimana malamnya nanti aku akan menemui anggota Klub Siluet yang lain. Kali ini berbeda. Tepat satu tahun Klub Siluet ini didirikan. Mungkin akan ada pesta kecil kecilan untuk merayakannya.
Malam hari aku bergegas untuk menuju tempat dimana kami biasa bertemu. Aku berbusana lebih rapi dari biasanya. Bukan celana jin, namun celana kain. Bukan kaos merah, namun kemeja berkerah. Ibu tersenyum kecil.
“Belum pernah Ibu melihatmu sebegini setia mengikuti suatu kegiatan, nak. Sebetulnya apa yang ingin kau cari disana? Setahun kamu ikut klub itu dan rajin mengikuti pertemuan tanpa absen.” ucapnya.
“Untuk mencari pengalaman, bu. Mulai dari berbagi pengalaman ke sesame hingga menjadi pendengar atas kisah hidup orang lain.”
Aku enggan mengakui kepada Ibu bahwa aku bergabung klub itu dengan tujuan yang egois. Tapi setidaknya, aku memahami perasaanku ini. Aku tahu betul, untuk apa, siapa, dan supaya apa aku mengikuti klub itu.
Aku mengetahuinya sejak aku berjumpa pertama kali dengan pemimpin kelompok. Ya, dia adalah Riko. Aku mengetahui ada perasaan berbeda dari lubuk hatiku. Aku juga mengetahui bahwa aku akan jatuh hati kepadanya. Seorang lelaki yang menurutku berbeda dari yang lainnya. Senyumnya yang menawan, seolah menghapuskan semua kepedihan. Tatapan matanya begitu hangat, mencairkan suasana dan meleburkan lara.
Aku lantas memegang tangan ibu, dan melontarkan kata salam. Dengan semangat membara, aku menuju tempat itu.
Setelah sampai di gubuk kecil itu, aku melihat Riko yang berdiri di dekat tiang gubuk. Menyalami anggota klub yang datang satu per satu. Ada nasi tumpeng yang dihidangkan di meja bundar dihiasi dengan balon-balon kecil di sekitar tiang gubuk. “Untuk peringatan ulang tahun,” pikirku. Tiba saat aku bersalaman dengan Riko. Tangan kami berdekatan dan semakin dekat. Hop. Aku menyentuh tangan lembutnya. Seakan urat nadi kita saling tarik menarik. Enggan dilepaskan. Waktu serasa terhenti dan tatapan mata kami yang awalnya berlari-lari, memberanikan bertemu pada satu titik. Jantungku seperti meloncat loncat kegirangan. Aku merasakansemua gravitasi mengarah ke pipiku. Menyadari bahwa pipiku memerah karena jabat tangan itu, tapi aku enggan beranjak. Lalu aku melepaskannya. Memutuskan kontak mata kehangatan, dan melirik kebelakang. Belum ada orang lain yang akan masuk ke gubuk. Aku harap bisa berbicara lebih lama kepadanya.
“Kamu…. Apa kabar?” tanyaku, berusaha menahan gemetar tubuh dan meredakan detak jantung yang berdendang. Gugup.
“Baik. Kamu?” Ia bertanya balik dengan ekspresi lucu. “Bagaimana dengan punggung ayam?” tambahnya. Mencoba mencairkan suasana, dengan humor klub.
Pasti. Pasti ia mengetahui bahwa ini hanya basa basi buatanku. Tapi entah mengapa, dia tidak membiarkan pembicaraan ini berhenti. Seolah ia mengetahui perasaanku kepadanya dan menyambut baik hal itu. Pembicaraan berlanjut. Rasanya kami sudah sangat akrab. Padahal, jarang sekali berbicara satu sama lain.
Anggota yang berkumpul sudah lengkap. Kami memulai kegiatan dengan membaca doa dan harapan pada ulang tahun klub ini. Satu tahun bukan waktu yang cepat. Namun aku ingin lebih lama dengan kehangatan klub teristimewa ini. “Punggung ayam” ceritaku masih menjadi sebuah lelucon yang terus menerus di ejekkan. Bahkan mereka mengejekku dengan kata aneh tersebut. Kegiatannya dilanjutkan dengan potong tumpeng dan diakhiri seperti biasa. Dengan bercerita dan tanya jawab. Kali ini berbeda dari sebelumnya. Topik cerita sudah ditentukan.
“Jadi, untuk apa kita semua disini? Apa tujuan kalian?” ujar Riko dengan lantang.
Entah mengapa, pertanyaannya persis dengan apa yang diungkapkan ibu tadi. Semuanya menjawab pertanyaan tersebut berurutan. Dengan berbagai alasan dan beragam model bahasa. Sedangkan, aku masih belum bisa jujur kepada semuanya. Belum bisa mengungkapkan perasaan yang setahun ini kupendam. Tiba giliran Riko yang menjawab pertanyaannya sendiri, semuanya terkaget. Mulanya ia menjawab sama seperti yang lain.
“Menambah pengalaman,” ucapnya. Namun, perkataannya belum selesai. Ia mengungkapkan semua yang ia rasakan selama ini.
“Kurasa, aku menyukaimu Jessie.” tambahnya. Ia menyebut namaku dengan lembut, mengungkapkan perasaan tanpa canggung. Aku kaget. Bola mataku serasa ingin keluar dari tengkorak kepalaku. Bahagia. Luar biasa bahagia.
“Cieeee, kepala klub menyukai punggung ayam.” ejek anggota lain. Kami terpojokkan oleh cie-an dari seluruh penjuru gubuk. Kami semua berbahagia. Namun, sepertinya tidak dengan Riko. Entah kenapa aku melihat raut wajah berbeda dari Riko. Seakan perasaannya belum semuanya tercurahkan. Aku mengerti betul raut wajah itu. Acaranya telah usai diakhiri dengan ejekan cie dari seluruh penjuru gubuk. Riko menarik tanganku. Seakan mencegahku untuk pulang.
“Temui aku ditempat ini, besok pukul lima sore” ucapnya dengan suara kecil. Aku mengangguk.
“Maaf, karena aku telah menyukaimu” tegasnya. Aku terdiam. Mencoba mencerna kata katanya yang sangat sulit dimengerti. Kata maaf sangat tidak pantas untuk mengiringi kalimat yang ia ucapkan. Mungkin menurutnya, ini adalah sebuah kesalahan untuk menyukaiku. Atau apa sebabnya aku tak tahu. Yang jelas aku sangat bahagia. Perasaanku yang kupendam setahun kini terbalaskan. Aku bergegas pamit pulang kepadanya. Takut jika Ibu menunggu dirumah dengan cemas.
Pukul lima sore tepat. Aku sudah menunggunya ditempat yang sebelumnya dijanjikan. Di gubuk kecil penuh kenangan. Aku melihatnya dari kejauhan, langkah kaki penuh harapan pun mendekat. Aku bisa melihat wajahnya. Ia tersenyum kecil.
“Aku akan pindah.” Ujarnya. Kata pertama yang terucap dari bibir kecilnya sungguh membuatku merasa pusing. Makna kata tersebut sangat banyak, sehingga aku takut jika salah menafsirkannya.
“Aku mendapatkan kesempatan untuk pertukaran pelajar ke luar negeri. Untuk menggapai cita dan mencerahkan masa depan.” Lengkapnya. Aku masih tidak paham akan kata kata yang ia lontarkan barusan. Otakku mulai merekamnya, aku ingat setiap kata yang ia ucapkan. Namun tak mengerti.
“Aku akan berangkat malam ini. Aku ingin fokus belajar disana. Mungkin lebih baik jika kita tidak berkomunikasi lagi. Agar aku tidak memikirkanmu selalu. Agar aku dapat dengan cepat melupakan dirimu. Maaf, aku tak bermaksud membuatmu sedih. Membuatmu merasa diberi sebuah harapan palsu. Dengan mengucap kata suka. Ya, memang suka yang kuungkapkan. Namun di lubuk hatiku yang terdalam ada rasa sayang yang dikhususkan untukmu, Jess. Tapi apa daya. Mungkin ini adalah takdir terbaik untuk kita. Aku harus pergi. Terimakasih selama ini.”
Mulutku refleks membuka, ingin menjawab. Tapi tak ada bunyi keluar selain tiupan angin tepi pantai. Kata kataku seperti tertahan di pangkal tenggorokanku. Membeku layaknya stalaktit dan stalagmit.
“Selamat tinggal, punggung ayam.” ucapnya dengan manis. Mencoba menenangkan pikiranku dengan humor tak berarti itu lagi. Dalam keadaan seperti ini, ia masih memanggilku dengan sebutan itu. Menurutku itu keistimewaannya. Entah mengapa bisa.
Air mataku sudah menggunung di pelupuk, siap meleleh pelan dipipi. Sedih sungguh. Mungkin ini yang dinamakan perpisahan. Aku menyesal, tidak memanfaatkan setahun ini untuk bersamanya. Namun apa daya, semua ini sudah terjadi.
Ia berbalik arah. Sungguh, suasana yang sangat tidak tepat dengan keindahan senja. Cahaya rembulan di sebelah kananmu, dan cahaya oren matahari di sebelah kirimu. Menemanimu melangkah. Menjauh dariku. Semakin jauh. Hanya punggungmu yang dapat kulihat. Punggung yang indah disinari cahaya mentari yang membentuk siluet. Punggung yang tak dapat kugapai.
Pertemuan klub selanjutnya sangat berbeda. Dia tak ada disana. Tak menyambut menyalami anggota yang lain lagi. Aku menceritakan semuanya. Semua yang ia katakan kepadaku pada pertemuan terakhir kami. Aku belajar banyak hal dari sini. Aku mulai bercerita kembali teringat dengan punggung ayam.
“Temanku yang hanya tahu bahwa ayam hanya memiliki punggung itu adalah orang yang sangat berbahagia. Ia nikmati punggung ayam tanpa tahu ada bagian lain. Ia hanya mengetahui bagian yang sanggup ia miliki. Sedangkan aku adalah orang yang paling bersedih, karena aku mengetahui apa yang tidak sanggup aku miliki. Aku menyayangi orang yang hanya mampu kugapai punggungnya saja. Seseorang yang cuma sanggup kuhayati bayangannya, tanpa sanggup kumiliki seutuhnya. Seseorang yang sekelebat hadir bagai bintang jatuh yang lenyap sebelum tangan ini sanggup mengejar. Seseorang yang hanya dapat kukirimi isyarat. Seseorang yang selamanya harus kubiarkan dalam bentuk punggung, karena jika ia berbalik, hatiku terbakar hangus olehnya.”
Semuanya terdiam. Desiran ombak seperti mengiringi kesunyian malam ini. Mereka berhenti mengejekku dengan sebutan punggung ayam lagi setelah aku berkisah. Punggung yang sangat berarti rupanya. Suara tepuk tangan sontak semua berikan kepadaku. Mereka terkesan. Aku sangat lega.
Entah apa yang akan terjadi pada hari-hari selanjutnya. Tanpa kehadirannya disini, seakan tak ada gunanya aku ikut klub ini. Tapi aku tak keluar. Aku akan tetap bertahan disini. Membuktikan bahwa aku tak selemah itu. Aku tau aku bisa melewati ini. Aku merasa aku tumbuh menjadi seorang remaja yang memiliki sikap dewasa. Pengalaman sedih ini, menuntunku ke arah kebaikan. Aku sadar perpisahan bukan akhir dari segalanya. Ya, inilah hidup. Ada pertemuan, pasti ada perpisahan. Hanya waktu yang tau kapan itu itu terjadi. Yang jelas, pasti.
No comments: